Peringatan 100 Tahun SCJ Indonesia dan Pembukaan Rangkain Kegiatan Perayaan 100 Tahun Prefektur Apostolik Bengkulu

Kendati Bukan Yang Pertama, Namun Tetap Setia Hingga Kini

Prêtres du Sacré-Cœur de Jésus (SCJ) adalah kongregasi yang didirikan oleh Leo Dehon di Saint-Quentin, Aisne dan menerima decretum laudis dari Tahta Suci pada tanggal 25 Februari 1888. Para imam (Biarawan) SCJ ini juga sering disebut sebagai dehonian. Kongregasi ini berawal dari nama Kongregasi Oblat Hati Kudus Yesus yang didirikan pada tanggal 28 Juni 1878 dan dibubarkan pada tahun 1884, kemudian didirikan kembali dengan menggunakan nama baru Kongregasi Imam-imam Hati Yesus Yesus.

Misionaris Pertama SCJ | Foto: Arsip SCJ Indonesia

Bukan yang Pertama Menabur Benih Iman

Berbicara tentang SCJ Indonesia tidak terlepas dari Gereja Sumatera bagian Selatan. Hidup dan berkembangnya jemaat ini sangat ditentukan oleh hidup dan perkembangan Gereja tersebut. Kendati kongregasi ini bukanlah penabur benih iman yang pertama di Bumi Sumatera, namun tetap setia hingga saat ini. Kisah Paroki St. Yohanes Penginjil Bengkulu menjadi fakta sejarah untuk hal ini.

Sejarah berdirinya paroki ini tidak bisa lepas dari sejarah pendudukan Inggris di Bengkulu yang lebih dikenal dengan nama Bumi Raflesia. Pada 24 Juni 1685, Inggris menjejakkan kakinya di Bengkulu, ada 3 orang utusan Inggris yaitu Ralp Ord, Benyamin Bloome, dan Joshua Charlton tiba di Bengkulu untuk menjalin hubungan dagang. Pada tanggal 16 Agustus 1685, ditandatangani perjanjian yang mengatur hubungan perdagangan antara Charles Baswell Esq dengan Pangeran Ingalu Raja, dari Silebar. Pada pertengahan tahun 1685, Inggris membangun Benteng York di antara laut dan Sungai Serut.

Bengkulu menjadi daerah yang ramai, banyak orang Eropa yang datang dan menetap di Bengkulu. Dari mereka, ada pula yang beragama katolik. Penguasa East Indie Company atau Serikat dagang Inggris di Madras meminta para misionaris dari Ordo Theatin untuk melayani kehidupan rohani para tentara, dan masyarakat katolik Eropa di Benteng York.

Retret Para Imam pendahulu di Tanjung Sakti | Foto: Arsip SCJ Indonesia

Pemimpin ordo Theatin mengirim Pendeta Martelli yang tiba di Bengkulu pada Desember 1702, dan tinggal di Benteng York. Dalam suratnya 28 Januari 1703, Pastor Martelli melaporkan, jumlah umat Katolik di Bengkulu mencapai 300 orang. Saat itu pos misi di Sumatera hanya ada di Pantai Utara Aceh yang melayani misionaris Fransiskan dan Bengkulu sendiri. Kedua pos misi ini berada di Keuskupan Malaka. Pastor Martelli mendapat bantuan tenaga dari Pastor Castelli.

Pada tahun 1706 Pastor Martelli dibunuh saat melayani umat di pedalaman Kalimantan. Pastor Castelli pun bekerja sendiri melayani umat di Bengkulu. Pada tahun 1708 Pastor Johannes Maria Comini membantu karya misi di Bengkulu.

Saat itu konflik antara rakyat Bengkulu dengan bangsa Inggris mulai sering terjadi. Konflik ini pula yang membawa dampak buruk bagi karya misi gereja di Bengkulu. Rumah kediaman Pastor Castelli pernah diserang dan dihancurkan rakyat Bengkulu.

Benda-benda yang diambil suci. Karya misi yang sudah bertahun-tahun dilakukan seakan hancur dan tidak ada harapan lagi. Akhirnya Pastor Castelli meninggalkan Bengkulu dan menuju ke Kalimantan. Tugas Pastor Castelli meniru Pastor John Milton. Namun belum lama berada di Bengkulu, beliau sudah sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 14 September 1714. Pastor Johannes Maria Comini kembali bekerja sebagai diri sendiri.

Pada tahun 1712 Yoseph Collet diangkat menjadi Deputi Gubernur, ia meminta izin kepada EIC (East Indie Company) untuk menggantikan Benteng York dan membangun sebuah benteng baru di atas karang, sebuah bukit kecil yang menghadap ke laut sekitar 2 kilometer dari Benteng York. Pada 1714 dimulailah pembangunannya dan selesai pada 1718. Yoseph Collet menyebut Benteng Marlborough, sebagai penghormatan terhadap Winston Churchill yang mendapatkan gelar 'Duke of Marlborough'. Selain itu, Inggris juga mendirikan Benteng Anna di daerah Muko-Muko.

Pastor Comini ditarik ke Goa India karena diangkat menjadi pimpinan Ordo Theatin Asia. Tugasnya di Bengkulu mengumpulkan Pastor Josef Maria Ricca. Ia berhasil membangun kapel di dekat Benteng Anna. Namun konflik yang terjadi antara Inggris dan masyarakat Bengkulu saat itu sungguh tidak menguntungkan. Pemberontakan pecah pada 1719.

Benteng, gereja diserang dan dibakar, Pendeta Ricca menolak untuk melarikan diri, dia memilih tinggal bersama umatnya. Pada saat itu ia juga mengadakan misa Jumat Agung, pada saat penghormatan salib, penduduk pribumi memberontak masuk dan akhirnya membunuh Pendeta Ricca.

Pada tahun 1721, pasukan Inggris merebut benteng kembali. Usaha mengirim misionaris dari Ordo Theatin tidak berhasil. Tetapi berkat keteguhan Pastor Johanes Maria Comini sebagai pimpinan Ordo Theatin kawasan Asia, 2 orang misionaris dapat dikirim ke Bengkulu.

Gereja Paroki St Maria Lahat | Foto: Arsip SCJ Indonesia

Mereka adalah Pastor Carolus Fideli dan Pastor Alexander Rotigno. Selama pelayanannya, Pastor Fideli dapat membangun kembali kapel yang rusak saat pemberontakan tahun 1719 dan juga membangun kapel di daerah Muko-Muko. Tugas Pastor Fideli dikerumuni Pastor Johanes Fransiscus Rescala karena diangkat menjadi pimpinan Ordo Theatin. situasi yang kondusif membuat para pedagang dari Eropa kembali ramai mendatangi Bengkulu. Bengkulu mendapat tambahan tenaga misionaris ketika Pastor Johanes Maria Uguccioni datang ke Bengkulu pada tahun 1736.

Konflik yang terjadi antara Inggris dan Prancis di Eropa semakin menghebat. Pada awal April 1960 benteng Marlborough direbut Prancis. Saat itu Pastor Johanes Maria Uguccioni meninggalkan Bengkulu dan pergi ke Manila yang sudah dikuasai Inggris.

Saat singgah ke Bengkulu, dia melihat bahwa karya misi yang sudah lama dimulai telah hancur akibat peperangan antara Inggris dan Prancis. Tahun-tahun sesudahnya, Bengkulu menjadi rebutan antara Inggris dan Belanda. Inggris dapat mempertahankan Bengkulu. Saat Sir Thomas Stamford Raffles menjabat sebagai Gubernur di Bengkulu, ia berusaha melebarkan kekuatannya ke Palembang. Namun, berdasarkan kesepakatan damai antara Belanda dan Inggris pada tahun 1824, Inggris akhirnya pergi dari Sumatera, termasuk Bengkulu.

Tahun 1811 sampai 1923, wilayah Bengkulu dan Sumatera Selatan masuk dalam Prefektur Apostolik Sumatera yang terpusat di Padang. Saat itu, yang menjadi Prefek Apostolik pertama adalah Mgr. Libertus Cluts, OFM Cap. Ordo Kapusin dipercaya untuk mengerjakan karya misi di daerah ini. Namun setelah kepergian Inggris dari Bengkulu, karya misi yang semula dilaksanakan Ordo Theatin tidak dapat diteruskan.

Pada tanggal 27 Desember 1923, sesuai 'breve' dari Tahta Suci daerah Sumatera Selatan dan Bengkulu menjadi Prefektur Apostolik yang terpisah dengan Prefektur Apostolik Sumatera (Padang). Prefektur Apsotolik yang baru ini bernama Prefektur Apsotolik Bengkulu yang pos misinya ada di Tanjungsakti. Pada 23 September 1924, para misionaris dari Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) tiba untuk pertama kalinya di Tanjungsakti. Mereka adalah Pastor HJD van Oort SCJ, Pastor K. van Steekelenburg SCJ, dan Bruder Felix van Langenberg, SCJ.

Uskup Emeritus Aloysius Sudarso SCJ bersama seorang imam misionaris SCJ | Foto: Arsip SCJ Indonesia

Orang ketiga ini diterima oleh Pastor Spanjers OFM Cap. Dengan kedatangan para misionaris ini, maka tenaga misi untuk melayani umat di daerah Sumatera Selatan dan Bengkulu semakin bertambah. Pastor van Oort SCJ diberi kepercayaan sebagai kepala misi. Dalam perkembangan yang sangat singkat, Palembang dan Bengkulu ditetapkan sebagai pos misi yang kedua dan ketiga. Dalam perkembangan selanjutnya, Tanjung-Karang dan Jambi menjadi pos misi selanjutnya.

Pada tanggal 28 Mei 1926 Mgr. HL Smeets SCJ menjadi Prefektur Apostolik yang pertama walaupun beliau baru tiba bulan September 1925. Jabatan ini tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 19 Januari 1927 beliau kembali ke Nederlands. Pastor van Oort, SCJ menggantikan tugas beliau sampai tanggal 19 Januari 1939, saat Pastor HM Mekkelholt, SCJ diangkat sebagai Prefek Apostolik. Pelayanan para misionaris SCJ itu, khususnya di Bengkulu, terus dilanjutkan oleh Kongregasi SCJ Indonesia hingga saat ini usianya 100 tahun. Berkaca dari kisah ini, memang SCJ bukanlah misionaris pertama yang menaburkan iman di Sumatera bagian selatan, khususnya di Bumi Raflesia; namun hingga kini Kongregasi SCJ tetap setia melayani sepenuh hati di tempat cikal bakal KAPal ini.

Salib 100 tahun SCJ Indonesia

Satu Abad Setia Melayani Sepenuh Hati

Kisah panjang menuju satu abad SCJ digarap di Indonesia menjadi rentang waktu yang membuktikan kesetiaan hati dalam melayani. Oleh karena itu, bertajuk “Dengan hati yang terbuka 'berjalan bersama' Gereja lokal” menjadi tema yang menarik untuk dimaknai. Tema yang dikemas dengan logo perayaan syukur 100 tahun SCJ Indonesia dengan beberapa detail simbol, yakni Salib Dehonian, Matahari berwarna coklat muda, memasang jejak kaki, kepulauan Indonesia berwarna hijau tua, gelombang (gelora) lautan berwarna biru, angka 100 tahun SCJ, dan tulisan tema, semakin menarasikan arah perjalanan kongregasi ke depan. Logo tersebut hendak menunjukkan bahwa melalui kehadirannya di Indonesia, Kongregasi SCJ yang dengan semangat dan daya juang yang berasal dari iman akan Kristus dan spiritualitas Hati yang Terbuka,melayani Gereja Indonesia dalam kerja sama atau bersama Gereja Lokal. Meskipun ada tantangan budaya, agama, wilayah, dll, Kongregasi SCJ berupaya menjadi matahari yang menyinari Gereja Lokal Indonesia sehingga Gereja Indonesia sungguh bisa menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan iman.

Komitmen SCJ untuk berjalan bersama dengan Gereja Lokal (Keuskupan) merupakan penegasan jemaat untuk sepenuh hati terlibat merawat dan menumbuh-kembangkan iman Gereja Lokal. Upaya itu mengingatkan pada jargon “Ojo dhewe-dhewe!”, ungkapan khas alm. Br.Odulphus van Gisbergen, bruder SCJ yang telah lama berkarya di Seminari Menengah Santo Paulus Palembang. Pernyataan itu bukanlah ungkapan kosong atau ungkapan ringan spontan tanpa arti. Ungkapan ini justru lebih dikatakan keras sebagai suatu refleksi bersama tentang komitmen sepenuh hati untuk berjalan bersama dalam mengembangkan panggilan imam keuskupan dan umat keuskupan setempat.

Ekaristi 100 tahun SCJ Indonesia

“JaSMeRah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah, adalah petuah Ir. Sukarno. Ungkapan ini dipakai oleh RP. Paulus Sarmono SCJ dalam mengawali homilinya dalam Pembukaan rangkaian rangkaian acara 100 tahun Prefektur Apostolik Bengkulu dan 100 tahun SCJ berkarya di Indonesia. Dalam Misa Kudus di Paroki St. Yohanes Penginjil Bengkulu (13/3) tersebut, Romo Superior SCJ wilayah Bengkulu menetapkan tiga tujuan perayaan seabad SCJ di Indonesia.

Pertama , kita hendak memandang masa lalu dengan rasa syukur karena karya Allah yang luar biasa dengan mengutus dan menghadirkan para Konfrater pendahulu kita di Bumi Pertiwi. Kedua , kita terus berharap dan berjuang agar bisa menghayati dan mengisi masa sekarang dengan semangat / karisma Pater Pendiri yang diwariskan oleh para pendahulu kepada kita dan kepada Gereja Lokal. Ketiga , kami sungguh-sungguh berharap bahwa dengan perayaan 100 tahun SCJ, kami dapat mewujudkan visi dan misi Pater Pendiri Kongregasi: Adveniat Regnum Tuum ; dan visi Provinsi SCJ Indonesia:    Digerakkan oleh Hati Yesus yang terbuka, komunitas persaudaraan religius Dehonian Indonesia mewujudkan cinta kasih, rekonsiliasi, kordialitas, solidaritas, dan keadilan demi hadirnya Kerajaan Hati Kudus Yesus di dalam Gereja dan di tengah masyarakat yang plural.

Perayaan yang dibuka pada masa Prapaskah ini memuat pesan khusus, bahwa bersyukur atas karya Allah yang luar biasa ini harus ditopang dengan semangat pertobatan yang seutuhnya bersama seluruh Geraja. Dengan demikian, dinamika berjalan bersama itu sungguh-sungguh bersama Tuhan Yesus Kristus seperti pengalaman dua murid di Emaus. Proficiat atas 100 tahun SCJ berkarya di Indonesia. Selamat melayani sepenuh hati bersama dan untuk Gereja Lokal.

** RD Widhy

Komentar